Home / News / Sustainability
Pada saat itu Samarinda berada di bawah kuasa pemerintah kolonial. Sebelum 1845, Samarinda menginduk kepada Kesultanan Kutai. Tapi setelah serangkaian perjanjian dari 1825—1845, Sultan Kutai mengakui pemerintah kolonial sebagai pemilik sah pesisir Kalimantan Timur, termasuk Samarinda, gerbang masuk menuju wilayah Kutai.
Pengakuan atas perjanjian tersebut menempatkan pemerintah kolonial sebagai pemegang izin perdagangan dan penelusuran batubara. Penemu batubara tidak lantas bisa memperdagangkan hasil temuannya. Mereka harus melaporkan temuannya ke Gubernur Jenderal di Batavia.
Batubara penting untuk menggerakkan kendaraan transportasi dan pabrik bermesin uap. Penggunaan mesin uap mulai lazim di Eropa sejak pertengahan abad ke-18, masa yang dikenal sebagai Revolusi Industri.
Baca Juga: Civitas Academica FK Undip Menolak Politisasi Kasus Kematian Mahasiswi PPDS Anestesi
Negeri Belanda dan koloninya tidak luput dari penggunaan kendaraan transportasi dan pabrik bermesin uap. Kebutuhan batubara meningkat drastis di dua wilayah ini. Maka batubara menjadi komoditas berharga sepanjang abad ke-19 bagi pemerintah kolonial.
Batubara mempunyai beberapa tingkatan kualitas: yang terburuk sampai yang terbaik. Temuan G.P. King termasuk berkualitas buruk. Batubara itu tak laku diperdagangkan dan kurang bisa diandalkan untuk menggerakkan mesin uap.
Penelusuran berlanjut ke Palaran, tak jauh dari tempat pertama. Di sini orang-orang G.P. King menemukan batubara berkualitas baik. G.P. King lekas mengajukan izin penggalian lanjutan dan perdagangan batubara. Tetapi permintaannya terhempas oleh Besluit (Keputusan) pemerintah kolonial No. 45, 24 Oktober 1850.
Baca Juga: Uniknya Udang Selingkuh, Udang Khas di Kawasan Pegunungan PapuaKata Kunci : sejarah tambang batubara di Indonesia